Aktor, sutradara film dan pesinetron Torro Margens menyarankan agar seni Sandiwara yang sudah menjadi
bagian budaya Indramayu, mengurangi penggunaan bahasa daerah. Alasannya, supaya
jenis kesenian ini tidak terkungkung serta dibatasi perkembangannya karena masalah bahasa yang kurang me-nasional.
Pesan almarhum disampaikan 5 tahun lalu kala bertandang
ke Indramayu. Seperti diberitakan, pria yang dikenal
memainkan peran antagonis ini tutup usia pada 4 Januari 2019 di Sukabumi
Jawa Barat.
Tanpa mengurangi nilai-nilai luhur seni-budaya Indramayu,
sebaiknya pada tiap pementasan, grup-grup Sandiwara menggunakan bahasa
Indonesia, agar mudah dimengerti dan dikenal masyarakat luar daerah, usul mendiang waktu itu.
“Saya sendiri berasal dari Pemalang tapi kurang mengerti
bahasa jawa Indramayu. Ini hanya
sumbangsih pemikiran saya. Jika ingin berkembang haruslah menggunakan bahasa
nasional seperti yang dilakukan Srimulat,” tutur pria pemeran Drs. Suroso
Kimpling dalam sinetron “Tukang Bubur Naik Haji” ini.
"Bila selama ini Sandiwara
hidup seperti katak dalam tempurung, mesti ada inovasi keluar dari
sarangnya. Bisa jadi, harga panggungan semula
10 juta sekali pentas, akan naik 2 - 3 kali lipat ketika diminta main di luar
daerah," kata Torro kepada K2 FM usai acara workshop.
Torro Margens menjadi pembicara pada workshop “Seni
Peran dan Trik Film” yang diselengarakan oleh Indramayu Production House pimpinan Johny Kazora, Kamis 6 Nopember 2014 di Panti Budaya. Peserta
diikuti ratusan pelajar SMP/SMA/SMK dan mahasiswa, diisi tanya jawab seputar seni
peran/akting.
Menyinggung tentang peran antagonis, ia mengaku itu sebagai
tuntutan naskah yang diinginkan sutradara dan produser.
“Lebih baik berperan antagonis di film atau sinetron. Yang
penting tidak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Torro Margens. Almarhum ketika itu didampingi komedian Derry
Sudarisman (Derry 4 Sekawan’) yang juga bertindak selaku pembicara workshop.
(Jeffry Suripto)
Posting Komentar