INDRAMAYU – K2 FM – Selasa,2/12-2014, 12:50 WIB
Batik Paoman merupakan asset budaya yang
dimiliki Indramayu. Awalnya tidak banyak
yang peduli akan keberadaan batik yang memiliki nilai seni agung dari daerah
bernama Paoman tersebut. Namun kepedulian
Hj. Siti Ruminah mampu mengembangkan
batik, bahkan dalam pemasarannya mampu menembus pasaran global.
Galerry “Batik Paoman Art” kerap dikunjungi rombongan
wisatawan manca negara, menjadi salah satu tujuan utama para wisman ke Indramayu
selain ke Sanggar Tari Mimi Rasinah. Bukan hanya itu, gallery ini menjadi pusat kajian ilmiah dan selalu
membuka diri bagi pelajar yang ingin belajar dan les membatik.
Ketika reporter K2 FM Nuniek berkunjung, didapati
pelajar SMK Kesehatan 1 Sukra tengah praktek belajar membatik. Seorang pelajar Yulia (17) mengaku sulit belajar membatik, saat sekolah memberinya
kesempatan untuk praktek secara langsung. Membatik, tak semudah seperti yang
ia bayangkan. “Ternyata susah dan
memerlukan ketelitian,” kata Yulia didampingi guru pemimbing Dewi.
Gallery
ini menyerap sekitar 60 orang tenaga pengrajin batik yang rata-rata kaum wanita. Dalam per-hari, dihasilkan beragam motif
batik khas Indramayu seperti Kembang
Gunda, Kembang Kapas, Kapal Kandas, Iwak Etong, Sekar Niyem, Rajeg Wesi, Pentil
Kuista hingga ratusan jenis motif batik lainnya.
“Dari hanya sekitar puluhan motif kini berkembang
menjadi 140 jenis motif batik, namun baru 50 yang sudah dipatenkan,” kata Siti
Ruminah di galerynya di jalan Siliwangi 315 Kelurahan Paoman Indramayu.
Tahun 1970 ia melihat banyak warga di seputar
rumah yang punya kebiasaan membatik.
Konon kebiasaan para wanita nelayan Paoman ini dalam mengisi kegiatan ketika para suami
melaut. “Batik Paoman itu musiman, jadi
laku dijual menjelang panen saja. Kalau musim penghujan atau musim paceklik
gulung tikar karena tidak ada yang membeli,” kata isteri H. Sudiono ini.
Jaman
dulu menjual batik susah, sehingga orang-orang dari kampung lain datang ke
Paoman. “Itupun tidak dibayar kontan,
melainkan yarnen alias dibayar nanti saat
panen tiba,” terang nenek 3 orang cucu ini.
Tahun 1972 ia mulai berpikir keras bagaimana
membantu memasarkan batik agar perekonomian
warga meningkat. Ia tergerak membeli 1 – 2 lembar kain batik hingga terkumpul 1
lemari penuh. Sejak itu iapun menjadi pengepul batik. “Semula saya membeli dua lembar
kain batik berbahan mori masing-masing seharga 3.000 rupiah, lama-kelamaan mereka
berlomba meningkatkan produksi karena tak jauh dan tak sulit menjualnya,”
ungkap Siti Ruminah kepada K2 FM.
Ibu 63 tahun ini enggan menyebut dirinya pengusaha
batik, karena semata-mata ingin membantu ekonomi pengrajin batik dan
melestarikan aset asli budaya Indramayu.
“Mereka bukan buruh yang harus dipacu waktu, memeras otak dan menguras tenaga. Mereka hanya masyarakat pengrajin/pekerja
seni yang lahir secara otodidak. Keahlian yang diturunkan sejak generasi pendahulu,” tandasnya.
Meski demikian, penghargaan pemerintah diperoleh berkat jasa mengembangkan usaha batik, meraih Adhikarya dari Bakorwil Cirebon dan Gubernur Jawa Barat tahun 1986 dan 1994, penghargaan dari Presiden RI Megawati Soekarnoputri pada Hari Koperasi Ke-55/Satu Abad Bung Hatta 2002 di Istana Negara, penghargaan dari Presiden RI Susilo Bambang Yuhoyono pada Munas VII IWAPI 2007 di Hotel Sahid Jakarta, penghargaan sebagai Pengusaha Menengah Berprestasi 2004 dari Menteri Negara Koperasi dan UKM RI serta penghargaan dari ibu Ani Bambang Yudhoyono dalam peringatan Hari Batik Nasional pada bulan Oktober 2014 di Pekalongan Jawa Tengah. (Jeffry/Nuniek)
Pengrajin batik di "Batik Paoman Art" Kelurahan Paoman Kecamatan Indramayu. (Photo : Nuniek)
Posting Komentar