K2 FM - Jum’at,11/9-2015,
16:21 WIB
Hari ini, 11 September diperingati sebagai
Hari Radio. Sandarannya adalah ketika Radio Republik Indonesia (RRI)
pertamakali siaran pada 11 September 1945.
Sejarah
radio di negeri ini sebetulnya sudah dimulai sejak 91 tahun silam. Gubernur
Jenderal de Fock meresmikan pemancar
radio Malabar di Bandung pada 5 Mei 1923. Inilah stasiun radio pertama yang
menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda.
Empat
tahun kemudian, Belanda melakukan percobaan siaran radio gelombang pendek
(shortwave atau SW) melalui pemancar PCJ dari laboratorium Philips di Eindhoven
ke Hindia Belanda. Merujuk situs Radio Nederland Wereldomroep, sewaktu
melakukan siaran percobaan itu, almanak bertanggal 11 Maret 1927.
Untuk
memuluskan ujicoba tersebut, beberapa hari sebelumnya pihak Belanda telah
mengantar sebuah pesawat radio tombstone merek Philips seri 703 A kepada Sri
Mangkunegara VII, penguasa Pura Mangkunegaran. Penguasa Keraton Solo itu
mempercayakan Ir. Sarsito melayani radio itu.
Sejumlah
orang berkumpul di Pura Mangkunegaran, Surakarta. Sekian pasang mata tertuju
pada Sarsito yang nampak hati-hati, putar-putar tuning mencari baris gelombang
yang selaras. Terdengar suara bersuit-suit sangat keras. Terkadang menggelegar
seperti geluduk. Tapi lebih sering, “menggero sebagai mengaumnya harimau. Maka
terkejutlah sekalian pendengar karena ketakutan,” tulis SRV Gedenkboek, 1936.
Begitu
Sarsito menemukan gelombang yang tepat, terdengar suara orang berkata-kata.
Sekali pun hanya berbisik-bisik, sekalian pendengar senang dan tertawa. Ketika
mendengar suara musik yang tiada ketahuan siapa yang memainkannya,
tercenganglah mereka. Itulah kali pertama orang-orang di Pura Mangkunegaran melihat
dan mendengar radio.
Dua
puluh hari kemudian, Ratu Wilhelmina menyapa rakyat di wilayah koloninya dari
laboratorium radio Philips. Siaran internasional yang dipancarkan secara live
pada 31 Maret 1927 itu berhasil ditangkap di Australia, Amerika Latin, Afrika
dan Asia Tenggara, termasuk di Pura Mangkunegaran, Surakarta.
Sarsito,
dalam Triwindoe Mangkunegoro VII Gedenkboek (1939) menceritakan, malam itu
orang-orang di Pura Mangkunegaran berkumpul di Prangwedanan bersama
Mangkunegara VII dan permaisuri Gusti Ratu Timur. Mereka mendengarkan siaran
langsung pidato Ratu Wilhelmina. “Itu adalah suatu saat yang tak terlupakan,”
kenang Sarsito. (HISTORIA.CO.ID)
Posting Komentar